Selasa, 01 April 2014

Makalah Upaya Konservasi Biodiversitas di Kawasan Lindung

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara dengan tingkat keanekaragaman hayati yang sangat tinggi, yang ditandai dengan ekosistem, jenis dalam ekosistem, dan plasma nutfah (genetik) yang berada di dalam setiap jenisnya. Dengan demikian, Indonesia menjadi salah satu pusat keanekaragaman hayati dunia dan dikenal sebagai Negara mega-biodiversity. Keanekaragaman hayati yang tinggi tersebut merupakan kekayaan alam yang dapat memberikan manfaat yang vital dan strategis, sebagai modal dasar pembangunan nasional, serta merupakan paru-paru dunia yang mutlak dibutuhkan, baik di masa kini maupun yang akan datang.
Namun demikian, Indonesia juga merupakan negara dengan tingkat keterancaman lingkungan yang tinggi, terutama terjadinya kepunahan jenis dan kerusakan habitat, yang menyebabkan menurunnya keanekaragaman hayati. Hal ini disebabkan karena proses pembangunan, dimana jumlah penduduk yang besar dan terus bertambah menyebabkan kebutuhan dasar pun semakin besar, sehingga sering terjadi perubahan fungsi areal hutan, sawah dan kebun rakyat baik oleh pemerintah maupun swasta. Keadaan demikian menyebabkan menyusutnya keanekaragaman hayati dalam tingkat jenis. Ketika pembangunan pemukiman, perkantoran, dan industri berjalan dengan cepat, secara bersamaan terjadi penurunan populasi jenis tumbuhan, hewan dan mikroba. Maka dari itu Indonesia merupakan salah satu wilayah prioritas konservasi keanekaragaman hayati dunia.
Di samping itu sumberdaya hayati banyak yang merupakan sumberdaya milik bersama seperti sumberdaya laut dan sumberdaya hutan. Sumberdaya yang sifatnya milik bersama ini memberi kesempatan semua orang dapat masuk untuk memanfaatkannya. Penyebab utama hilangnya keanekaragaman hayati bukanlah dari eksploitasi manusia secara langsung, melainkan kerusakan habitat sebagai akibat yang tak dapat dihindari dari bertambahnya populasi penduduk dan kegiatan manusia. Oleh karena itu, konservasi keanekaragaman hayati menjadi suatu tindakan yang sangat penting untuk dilakukan baik oleh pemerintah maupun masyarakat.
1.2 Tujuan
Adapun yang menjadi tujuan penulisan makalah ini, antara lain sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui cara pengendalian spesies eksotik.
2. Untuk mengetahui bagaimana cara rehabilitasi satwa.
3. Untuk mengetahui upaya pelestarian keanekaragaman hayati  ek-situ dan in-situ.
1.3 Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penulisan makalah ini, antara lain sebagai berikut:
1. Bagaimana cara pengendalian spesies eksotik?
2. Bagaimana cara rehabilitasi satwa?
3. Bagaimana upaya pelestarian keanekaragaman hayati  ek-situ dan in-situ?

BAB II 
PEMBAHASAN
2.1 Cara Pengendalian Spesies Eksotik 
Spesies eksotik adalah species yang tumbuh di luar sebaran aslinya. Karena tumbuh diluar sebaran aslinya dimungkinkan jenis tersebut akan mengganggu bahkan dapat merugikan flora dan fauna asli. Di habitat yang baru species eksotik akan menyebabkan problem lingkungan, terutama jenis-jenis eksotik invasif karena penyebarannya yang tidak terkendali (mudah tumbuh), tidak ada hama dan penyakit yang menyerang, menghasilkan allelopati yang dapat mematikan tumbuhan lain, dan sifat perakarannya yang invasif (Suharnantono, Hendrat., 2011).
Dalam buku Ensiklopedia Kehutanan Indonesia disebutkan bahwa suatu pohon dianggap eksotik apabila pohon tersebut tumbuh diluar sebaran alaminya. Jenis eksotik mungkin dapat merugikan flora ataupun fauna asli. Kebanyakan tanaman eksotik yang menimbulkan problem lingkungan adalah tanaman yang diintroduksi secara tidak sengaja. Pada habitat barunya mungkin hanya sedikit predator atau penyakit sehingga populasi tumbuhnya tidak terkendali sehingga sering dinamakan eksotik invasif  (Suharnantono, Hendrat., 2011).
Perakaran tanaman eksotik invasif bersifat ekstensif yang mendominasi atas kelembaban dan kandungan nutrien tanah, sehingga tanaman lebih cepat tumbuh dan tajuk cepat menutup vegetasi di bawahnya. Juga karena tanaman eksotika da yang menghasilkan “allelopati” yang bersifat racun bagi vegetasi lainnya sehingga mengurangi keragaman biologi (Suharnantono, Hendrat., 2011).
Kontributor utama terhadap pengurangan dan kepunahan (kedua setelah hilanganya habitat), adalah introduksi spesies bukan alami pada lingkungan baru. Spesies kadang-kadang menginvasi habitat baru secara alami, tetapi eksplorasi dan kolonisasi manusia secara dramatik meningkatkan penyebaran spesies.  Bilamana manusia bermukim jauh dari tempat tinggalnya, mereka secara sengaja mengintroduksi tanaman dan hewan yang telah dibudidayakannya. Banyak spesies lain secara tidak sengaja terangkut ke seluruh dunia. Spesies yang diintroduksi sebagai tindakan manusia dinamakan eksotik, asing, atau spesies tidak asli.  Banyak tanaman dan binatang, misalnya di Indonesia, merupakan eksotik. Demikian juga hama dan penyakit tanaman banyak yang eksotik. Eksotik mungkin  merugikan pada flora dan fauna asli. Mereka sering meninggalkan faktor-faktor yang berkembang bersamanya yang mengendalikan populasi dan penyebarannya. Dalam habitat barunya mungkin hanya ada sedikit predator atau penyakit, sehingga populasinya tumbuh tak terkendali. Mereka sering kali dinamakan eksotik invasif. Organisme yang dimangsa mungkin belum mengembangkan mekanisme pertahanan dan spesies asli mungkin tak dapat berkompetisi dengan baik terhadap ruang dan makanan, sehingga terdesak ke kepunahan (Anonim, 2012). 
Kebanyakan tanaman eksotik yang menimbulkan problem lingkungan sekarang ini adalah diintroduksi secara tidak sengaja, misalnya mendompleng melalui benih tanaman lain yang didatangkan.  Tanaman eksotik yang tidak dikehendaki di bidang pertanian dan kehutanan dinamakan gulma (Anonim, 2012). 
Mikania micrantha diintroduksi ke Indonesia sebagai tanaman penutup tanah (cover crop) di perkebunan. Dewasa ini spesies ini telah menjadi gulma yang penting.
Acacia nilotica menjadi tanaman yang sangat agresif perkembangannya di Taman Nasional Baluran sehingga mendesak ruang tumbuh bagi spesies lain; spesies ini diintroduksi pertama kali dari Afrika sebagai tanaman pagar.
Eceng gondok tumbuh sangat cepat di sungai-sungai dan danau. Spesies ini awalnya diintroduksi sebagai tanaman ornamental.
Penggembalaan di California meningkatkan penyebaran Artichoke thistle; tumbuhan seperti bambu ini berasal dari daerah Mediteranian yang dibawa oleh misionaris Spanyol untuk konstruksi.  Sekarang telah menutup ribuan hektar bantaran sungai dan mengeliminasi tumbuhan asli, serta menciptakan habitat alami untuk tikus. Biaya untuk mengeliminasinya diperkirakan sebesar $ 20 juta. 
Transfer binatang yang paling destruktif dan mahal dari satu negara ke negara lain adalah kelinci ke Australia. Pertama kali diintroduksi oleh seorang tuan tanah kaya, Thomas Austin, yang kangen akan binatang-binatang dari tanah airnya, Inggris. Austin membawa beberapa dosin kelinci tahun 1859 dan melepaskannya di negara bagian Victoria. Kelinci ini beranak pinak, dan menjadi binatang buruan bagi Austin. Enam tahun kemudian ia menaksir telah membunuh 20.000 ekor dan masih ada 10.000 ekor lagi. Kelinci akhirnya menyebar ke seluruh kontinen Australia, perburuan kelinci menjadi populer, daging dan kulit kelinci menjadi komoditi ekspor bagi Australia. Populasi kelinci bertambah cepat karena tidak adanya predator (serigala) seperti di Eropa. Predator yang ada, dingo (sejenis anjing) telah dikendalikan populasinya oleh peternak biri-biri (Anonim, 2012). 
Dalam 50 tahun kelinci telah menyebar ke seluruh Australia kecuali di bagian utara yang beriklim tropis, dan populasinya demikian padat sehingga memakan setiap rumput yang ada dan mematikan semak dan pohon dengan memakan kulitnya.  Kelinci juga menginvasi ladang penggembalaan biri-biri menjadi lahan yang tak produktif, menurunkan produksi wol menjadi setengahnya. Akhirnya, kelinci dinyatakan sebagai musuh, yang diburu dan dibunuh. Pemerintah menyediakan hadiah bagi yang mengumpulkan ekor kelinci, dan jutaan ekor telah dikumpulkan. Tetapi sangat sulit untuk menangkap semuanya. Pada tahun 1902-1907 pagar sepanjang 2.000 mil dibangun, bernilai jutaan dolar, untuk menghentikan kelinci memasuki daerah penanaman gandum. Kelinci akhirnya mati kelaparan dan bangkainya menumpuk di salah satu sisi pagar, sedangkan rumput di sisi pagar yang lain tumbuh hijau untuk sementara waktu. Tetapi, kemudian beberapa ekor kelinci berhasil menerobos pagar  dan memulai siklusnya lagi di sisi lain dari pagar (Anonim, 2012).
Dewasa ini ‘Pagar Kelinci’ menandai batas yang jelas antara vegetasi asli yang dikonversi untuk pertanian dan hutan yang masih asli. Perubahan pola vegetasi ini merupakan fitur buatan manusia di Australia yang telihat dari ruang angkasa, dan nampaknya menyebabkan perubahan pola curah hujan (Anonim, 2012). 
Solusi potensial untuk mengatasi masalah kelinci ditemukan dengan mendatangkan virus yang menyebabkan penyakit yang dinamakan myxomatosis. Virus ini diketemukan di kelinci Brazil dan hanya menyebabkan sakit ringan, tetapi mematikan bagi kelinci Eropa. Virus ini disebarkan melalui nyamuk dan kutu kelinci. Ini diintroduksi ke Australia tahun 1950 dan menyebar sangat cepat. Jutaan kelinci mati dan lahan mulai menghijau kembali (Anonim, 2012). 
Posum merupakan binatang eksotik yang paling destruktif di Selandia Baru. Binatang ini diintroduksi ke Selandia Baru dari Australia untuk industri bulu binatang (fur) tahun 1837. Sampai tahun 1937  posum telah diintroduksi ke 450 lokasi. Populasinya meningkat cepat di luar kendali mencapai 70 juta dan dideklarasikan sebagai musuh masyarakat nomor satu. Posum merusak tajuk tumbuhan, menyebabkan kehilangan habitat dan mematikan spesies burung asli (Anonim, 2012).
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi jalan baru untuk invasi spesies eksotik, yaitu sebagai berikut (Anonim, 2012):
Lalu lintas kontiner. Penggunaan kontiner (kotak besi besar) yang dikirimkan lewat kapal dan kereta apai memberikan ‘lompatan kuantum’ dalam efisiensi transportasi, baik untuk perdagangan barang-barang maupun untuk tanaman dan binatang eksotik. Bersamaan dengan kontiner mungkin terikut binatang dan tumbuhan. Misalnya, pengiriman kontiner yang berisi ban bekas dari Jepang membawa nyamuk Asia ke Amerika Serikat, Afrika Selatan, Selandia Baru, Australia dan Eropa Selatan.
Lalu lintas udara. Kapal  terbang memberikan moda yang efisien untuk penyebaran eksotik. Nyamuk bertahan hidup dalam penerbangan dari Afrika ke Inggris dalam kabin penumpang, dan ular menumpang dalam kargo dari Guam ke Hawai.
Pertanian. Beberapa tanaman telah lepas (escape) menjadi gulma, misalnya tanaman olive di Australia. Praktik pertanian telah menyebabkan penyebaran hama dan penyakit. 

Spesies eksotik juga memberikan manfaat positif yang tidak kalah pentingnya bagi manusia. Banyak tanaman yang dibudidayakan oleh manusia adalah eksotik.  Di Indonesia tanaman penghasil bahan makanan dan komoditas lainnya kebanyakan adalah eksotik (Anonim, 2012).

2.2 Rehabilitasi Satwa 
Satwa merupakan sumber daya alam hayati yang kelestariannya harus dijaga. Untuk menjaga kelestariannya tetap berjalan secara berkesinambungan, maka diperlukan upaya konservasi satwa dengan langkah-langkah yang benar. Upaya pelaksanaan konservasi satwa meliputi juga unsur lingkungan atau ekosistem satwanya. Ekosistem ini memiliki fungsi yang sangat penting sebagai unsur pembentuk lingkungan satwa, yang kehadirannya tidak dapat diganti, harus disesuaikan dengan batas-batas daya dukung alam untuk terjaminnya keserasian, keselarasan dan keseimbangan ekosistem satwa sendiri (Akbar, Hafizh., 2011).
Untuk mengatasi bertambahnya satwa liar yang punah, dilakukan upaya-upaya penyelamatan satwa yang bertujuan menjaga satwa liar agar tetap lestari di alam (Permenhut, 2006 dalam Akbar, Hafizh., 2011). Salah satu upayanya adalah pendirian pusat penyelamatan satwa. Pusat penyelamatan satwa (PPS) didirikan atas dasar tindak lanjut loka karya penanganan satwa liar yang dilindungi di Bogor pada tanggal 20-21 Juli 2000 yang merekomendasikan adanya fasilitas pengelolaan satwa liar dilindungi. Tujuan utamanya adalah mengelola satwa hasil sitaan atau penyerahan sukarela dari masyarakat untuk dirawat dan direhabilitasi agar kemudian dapat dilepas liarkan kembali ke alam (YGI, 2006 dalam Akbar, Hafizh., 2011). Keberadaan pusat penyelamatan satwa ini perlu mendapatkan kajian dari pihak yang peduli terhadap nasib satwaliar Indonesia. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui teknik-teknik yang digunakan oleh pusat penyelamatan satwa dalam perawatan dan rehabilitasi satwa.
2.3 Upaya Pelestarian Keanekaragaman Hayati  ex-situ dan in-situ 
Kekayaan flora fauna merupakan potensi yang dapat dimanfaatkan sampai batas-batas tertentu yang tidak mengganggu kelestarian. Penurunan jumlah dan mutu kehidupan flora fauna dikendalikan melalui kegiatan konservasi secara insitu maupun eksitu. Konservasi in-situ (dalam kawasan) adalah perlindungan populasi dan komunitas alami. Konservasi ex-situ adalah kegiatan konservasi di luar habitat aslinya, dimana fauna tersebut diambil, dipelihara pada suatu tempat tertentu yang dijaga keamanannya maupun kesesuaian ekologinya. Konservasi ex-situ tersebut dilakukan dalam upaya pengelolaan jenis satwa yang memerlukan perlindungan dan pelestarian. Tujuan dari perlindungan dan pelestarian alam tidak hanya untuk menyelamatkan jenis tumbuhan dan hewan dari ancaman kepunahan, akan tetapi mengusahakan terjaminnya keanekaragaman hayati dan keseimbangan unsur-unsur ekosistem yang telah mengalami gangguan akibat meningkatnya aktivitas manusia yang merambah kawasan hutan alam. Kawasan konservasi ex-situ sama pentingnya dengan kawasan konservasi in-situ dan mempunyai peran yang saling melengkapi (Team Teaching, 2012).
2.3.1 Konservasi in-situ (di dalam kawasan)
Konservasi in-situ (di dalam kawasan) adalah konservasi flora fauna dan ekosistem yang dilakukan di dalam habitat aslinya agar tetap utuh dan segala proses kehidupan yang terjadi berjalan secara alami. Kegiatan ini meliputi perlindungan contoh-contoh perwakilan ekosistem darat dan laut beserta flora fauna di dalamnya. Konservasi in-situ dilakukan dalam bentuk kawasan suaka alam (cagar alam, suaka marga satwa), zona inti taman nasional dan hutan lindung (Team Teaching, 2012).
Tujuan konservasi in-situ untuk menjaga keutuhan dan keaslian jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya secara alami melalui proses evolusinya. Perluasan kawasan sangat dibutuhkan dalam upaya memelihara proses ekologi yang esensial, menunjang sistem penyangga kehidupan, mempertahankan keanekaragaman genetik dan menjamin pemanfaatan jenis secara lestari dan berkelanjutan (Team Teaching, 2012).
2.3.2 Konservasi ek-situ (di luar kawasan)
Konservasi ek-situ (di luar kawasan) adalah upaya konservasi yang dilakukan dengan menjaga dan mengembangbiakkan jenis tumbuhan dan satwa di luar habitat alaminya dengan cara pengumpulan jenis, pemeliharaan dan budidaya (penangkaran) (Team Teaching, 2012).
Konservasi ek-situ dilakukan pada tempat-tempat seperti kebun binatang, kebun botani, taman hutan raya, kebun raya, arboretum, penangkaran satwa, taman safari, taman kota dan taman burung. Cara ek-situ merupakan suatu cara pemanipulasian obyek yang dilestarikan untuk dimanfaatkan dalam upaya pengkayaan jenis, terutama yang hampir mengalami kepunahan dan bersifat unik. Cara konservasi ex-situ dianggap sulit dilaksanakan dengan keberhasilan tinggi disebabkan jenis yang dominan terhadap kehidupan alaminya sulit beradaptasi dengan lingkungan buatan (Team Teaching, 2012).
2.3.3 Contoh konservasi secara in-situ dan konservasi secara ek-situ
Salah satu penyebab semakin langkanya bunga Rafflesia yaitu terjadinya pengrusakan dan penyempitan habitat alaminya (hutan hujan tropis). Ancaman lain datang dari para pemburu dan kolektor flora langka termasuk para wisatawan asing yang mungkin saja jika tidak diawasi berusaha mendapatkan bunga Rafflesia lewat cara-cara ilegal, juga para perambah hutan yang secara langsung mengambil tunas Rafflesia untuk bahan dasar ramuan tradisionalnya semakin menambah kehawatiran hilangnya Rafflesia dari habitat alaminya (Team Teaching, 2012).
Menyadari pentingnya usaha melestarikan bunga tersebut, maka Pemerintah Indonesia melalui Surat Keputusan Menteri Pertanian no. 6/MP/1961 tanggal 9 Agustus 1961 melarang dikeluarkannya Rafflesia dari habitat alaminya. Kemudian sejak tahun 1978 bunga Rafflesia dinyatakan sebagai jenis tumbuhan yang dilindungi dengan status nyaris punah (Team Teaching, 2012).
Dalam rangka menindaklanjuti keputusan tersebut , pemerintah melalui Direktorat Jenderal PHPA membentuk beberapa kawasan Cagar Alam sebagai tempat untuk melindungi dan melestarikan keberadaan Rafflesia secara penuh pada habitat alaminya dengan mengusahakan sedikit mungkin campur tangan manusia. Upaya pelstarian seperti ini dikenal sebagai konservasi in situ (Team Teaching, 2012).
Selain konservasi in situ kita juga mengenal konservasi eksitu yaitu usaha pelestarian Rafflesia dengan cara memindahkan bunga tersebut dari habitat alaminya ke habitat buatan seperti ke Kebun Botani. Meskipun konservasi secara eksitu lebih mahal dan lebih sulit jika dibandingkan konservasi in situ, namun cara ini telah membawa hasil yang cukup menggembirakan bagi usaha pelestarian Rafflesia, seperti bunga Rafflesia yang tumbuh di Kebun Raya Bogor salah satu bukti keberhasilan konservasi eksitu. Keuntungan lain dari konservasi eksitu yaitu memudahkan para peneliti, peminat, pemerhati dan pengunjung bunga Rafflesia untuk meneliti sekaligus menikmati keindahan bunga tersebut tanpa harus merusak habitat alaminya (Team Teaching, 2012).

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi jalan baru untuk invasi spesies eksotik, yaitu lalu lintas kontiner, lalu lintas udara, dan pertanian. Untuk mengendalikan invasi spesies eksotik, maka ketiga faktor ini yang harus diperhatikan. Sedangkan untuk upaya rehabilitasi satwa, salah satu upayanya adalah dengan melakukan konservasi satwa melalui pendirian pusat penyelamatan satwa.
Upaya pelestarian keanekaragaman hayati in-situ meliputi perlindungan contoh-contoh perwakilan ekosistem darat dan laut beserta flora fauna di dalamnya. Konservasi in-situ dilakukan dalam bentuk kawasan suaka alam (cagar alam, suaka marga satwa), zona inti taman nasional dan hutan lindung. Sedangkan upaya pelestarian keanekaragaman hayati ek-situ dilakukan dengan menjaga dan mengembangbiakkan jenis tumbuhan dan satwa di luar habitat alaminya dengan cara pengumpulan jenis, pemeliharaan dan budidaya (penangkaran).
3.2 Saran
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca, khususnya mahasiswa, dan semoga pula dapat memberikan kontribusi ataupun solusi dalam hal cara pengendalian spesies eksotik, upaya rehabilitasi satwa, dan upaya pelestarian keanekaragaman hayati  ex-situ dan in-situ. Apabila dalam makalah ini masih banyak kekurangan, mohon kritik dan saran dari pembaca guna penyempurnaan makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA

Akbar, Hafizh. 2011. Perawatan dan Rehabilitasi Satwa Tangkapan di Pusat Penyelamatan Satwa Cikananga Sukabumi dan Gadog Bogor. Bogor: IPB.
Anonim. 2012. Introduksi Eksotik. Tersedia http://elisa1.ugm.ac.id/files/t3hermawan/mas2B0KN/8%20Introduksi%20eksotik.doc.
Suharnantono, Hendrat. 2011. Monitoring dan Evaluasi Jenis Tanaman Rimba Eksotik. Perhutani KPH Kendal.
Team Teaching. 2012. Bahan Ajar Mata Kuliah Biodiversitas dan Konservasi. Gorontalo: Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan IPA Universitas Negeri Gorontalo.

Tidak ada komentar: